Dampak bunga uang terhadap perekonomian Indonesia *uploaded* Tulisan Oleh : H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA (Mantan Direktur Eksekutif IDB / Staf Pengajar STEI Tazkia) Akibatnya, selama pasar masih bisa menyerap harga barang dan jasa, maka akan ada pihak yang selalu diuntungkan, yaitu ; pedagang, pengusaha, bank, dan penyimpan dana, di atas pihak lain yang dirugikan, yaitu rakyat jelata sebagai penanggung beban biaya yang terakhir. Walaupun nampaknya beban bunga itu tidak merugikan bank, pedagang, produsen, atau pengusaha karena merupakan biaya yang bisa digeserkan, tetapi akibatnya dalam skala yang lebih luas penggeseran beban biaya itu merupakan salah satu pendorong inflasi (cost push inflation). Selanjutnya tingkat inflasi yang terjadi, menjadi acuan lagi untuk menentukan tingkat bunga tabungan yang lebih tinggi. Demikian seterusnya dan seterusnya. Hingga tahap ini akan terjadi secara terus menerus pemindahan kekayaan dari rakyat jelata termasuk yang kurang mampu kepada yang lebih mampu (somebody) tadi. sehingga dalam jangka panjang terjadilah jurang pemisah yang semakin jauh antara si kaya dengan si miskin. Degradasi etika dan moral akan membuka peluang terjadinya personal interest untuk memperkaya diri melalui korupsi dan kolusi, maka terjadilah proses konglomerasi atas beban yang merugikan rakyat. Secara makro, dalam upaya pembangunan ekonomi dimana praktek membungakan uang merupakan bagian dari sistem ekonomi, selama itu Pemerintah akan selalu dihadapkan kepada situasi yang dilematis dan kontradiktif. Dilematis, karena untuk memacu kegiatan ekonomi biasanya diperlukan kebijaksanaan uang longgar dengan menambah pasokan kredit perbankan, melonggarkan masuknya investasi asing dan pinjaman luar negeri tetapi dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah uang yang beredar sehingga dapat menaikan tingkat inflasi. Untuk menurunkan kembali tingkat inflasi itu biasanya diperlukan kebijaksanaan uang ketat dengan mengurangi pasokan kredit perbankan akan tetapi dapat mengakibatkan lesunya kegiatan ekonomi. Lalu seberapa ketat dan seberapa longgar tepatnya kebijaksanaan itu diterapkan untuk memacu kegiatan ekonomi tanpa menimbulkan gejolak harga?harga adalah masalah pelik yang selama ini dihadapi Pemerintah. Kontradiktif, karena pada upaya Pemerintah untuk mengendalikan inflasi dengan kebijaksanaan uang ketat tadi misalnya, akan ditanggapi oleh perbankan dengan menaikkan tingkat bunga yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, kelesuan ekonomi, dan dorongan inflasi kembali. Inflasi sebenarnya bisa disebabkan juga oleh adanya ketidak seimbangan disektor riil, seperti : hambatan produksi karena inefisiensi, melonjaknya permintaan melebihi pasokan, kegagalan panen karena banjir / kekeringan, hambatan impor untuk proteksi produksi dalam negeri, dll. Akibatnya bisa terjadi suatu situasi ekonomi dimana pertumbuhan tidak terjadi (stagnasi) sementara itu tingkat inflasi masih tetap tinggi. Karena kepedulian terhadap golongan ekonomi lemah tidak build?in dalam perbankan dengan sistem bunga maka untuk mengurangi kesenjangan yang akan selalu terjadi, terpaksa Pemerintah memaksa bank agar memperdulikan kebutuhan kredit masyarakat ekonomi lemah ini, seperti : kewajiban untuk menyalurkan dari port-folio kreditnya sekian persen untuk kebutuhan masyarakat ekonomi lemah (Contoh : KUK/KUKM). Kesulitan tentu saja timbul karena tidak mudah mencari pengusaha kecil yang mampu membayar bunga yang berlaku. Biasanya untuk melaksanakan kewajiban yang diinjeksikan itu perbankan dengan sistem bunga menuntut dapat menyalurkan kredit bersubsidi bunga ( kredit likuiditas ) yang menjadi beban berat pemerintah untuk masyarakat ekonomi lemah tertentu. Dengan terbatasnya kemampuan keuangan negara, maka kredit bersubsidi bunga sudah tidak dimungkinkan lagi. Inilah hambatan dan tantangan yang menghadang upaya pemerataan kesempatan berusaha melalui perbankan dengan sistem bunga. Walaupun uraian diatas didasarkan atas fakta yang terjadi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia sejak pemerintahan Orde Lama, Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi, tentu masih mengundang pertanyaan kritis, yaitu : " mengapa di negara lain yang lebih maju dimana ekonominya juga didominasi perbankan dengan sistem bunga tidak menimbulkan kesulitan seperti yang terjadi di Indonesia? Jawaban terhadap pertanyaan inipun sebenarnya dapat dikemukan dari fakta-fakta bahwa di negara-negara tersebut motivasi masyarakatnya untuk menyimpan uangnya di bank bukan untuk memperoleh pendapatan bunga yang tinggi tetapi semata-mata hanya untuk keamanan (security). Selain itu selisih bunga bukanlah pengahasilan utama bank. Lebih dari 60% pendapatan bank-bank di negara maju diperoleh dari biaya pelayanan atau biasa dikenal dengan istilah "fee base income" termasuk di dalamnya dari penerbitan Letter of Credit (L/C) dan Letter of Guarantee yang mendorong perdagangan dan pembangunan. Menghadapi masalah pemerataan dan penanggulangan kemiskinan untuk menjembatani kesenjangan, dibutuhkan sistem perbankan alternatif yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dampak inflasi dan sekaligus memeratakan kesempatan berusaha. Secara konsepsional, bank syariah dengan sistem bagihasil dan dengan kerjasama sinerginya baik vertikal maupun horizontal mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dana masyarakat, menetralisir dampak inflasi, membendung pengaruh negatif globalisasi, menekan serendah mungkin kredit macet, menjamin adanya keterbukaan, membuka peluang?peluang usaha baru untuk memeratakan kesempatan kerja, menanggulangi kemiskinan dan menjembatani kesenjangan sosial.